Seorang Gadis Cina Bernama Yang Fang - Memori Masa Lalu

Image via Pixabay.com

Dia berkulit putih, bermata sipit dengan rambut hitam lurus sebahu, berwajah serius. Seorang gadis cantik khas oriental yang biasa kusapa Fang, seorang sahabat yang entah kemana rimbanya sekarang.

Nama pemberian orang tuanya adalah Yang Fang. Namun karena lidah orang Australia sulit melafalkannya dan juga untuk mempermudah mengingatnya, digantilah nama panggilannya. Sehingga secara resmi di kampus dipanggillah dia Tiffany. Ditambah dengan nama keluarga jadinya Tiffany Yang. 

Namun dia sendiri tak pernah mempermasalahkannya. Sudah menjadi kebiasaan atau tradisi, entahlah. Itulah kenyataannya. Setiap pelajar dari Taiwan, Hong Kong dan Cina selalu diganti nama panggilannya. Mereka pada umumnya mau menerima nama baru mereka. Walau ada sih seorang pemuda yang cukup tampan dari Hong Kong. Kepadaku dia bilang tak suka dipanggil dengan nama barunya, Tim. 

Kembali ke Tifffany. Aku tetap memanggilnya Fang, nama asli pemberian orang tuanya. Mudah sekali bagiku tuk melafalkannya maupun mengingatnya. Tak terlalu lama mengenalnya, namun ingatanku akan dia tak pernah pudar ditelan waktu. Namun tak tahulah dengan dia sendiri terhadapku.



Pada postingan kali ini yang berlabel Tasmania, aku mencoba lagi untuk merangkai serpihan-serpihan memori semasa dulu kuliah selama dua tahun di Hobart, Tasmania. Selain ilmu pengetahuan, ternyata banyak cerita kehidupan yang menarik yang kudapat disana. Termasuk dari seorang sahabat yang bernama Yang Fang, teman satu kampus, bahkan di kelas kami biasanya duduk bersebelahan.

Baca juga: Sekilas Tentang Hobart, Kota Kenanganku

Sangatlah wajar karena hanya kami berdua mahasiswa asing di kelas. Kelas kecil yang berisi hanya 15 orang. Kami sama-sama dari Asia sehingga dari segi budayapun tak terlalu sulit bagi kami tuk saling beradaptasi. Namun teman-teman Australia kami semua baik juga kok.

Apa sih sebenarnya yang menarik dari seorang Yang Fang? Waktu itu aku mengenalnya sebagai seorang gadis berusia 18 tahun, tentunya lebih muda umurnya dari aku. Seorang yang serius, atau lebih tepatnya kaku dibandingkan dengan teman-teman wanitaku yang lain yang dari Hong Kong. Mungkin itu tipikal orang dari mainland, sebutan untuk mereka yang berasal dari Cina daratan. Namun setelah mengenalnya lebih dekat dan menjadi akrab, ternyata aku telah keliru menafsirkannya. Dia menjelma menjadi seorang yang menyenangkan untuk diajak bicara.

Dia lahir dan besar di negeri tirai bambu yang sekarang lebih sering disebut Tiongkok. Lulus sebagai siswa terbaik ke-2 di SMA terfavorit di negeri itu. Lalu merantau mengikuti kedua orang tuanya ke Hongaria. Ayahnya buka toko disana dan ibunya bekerja sebagai manajer di sebuah pertokoan.



Sebagai anak tunggal di keluarganya, Fang tak pernah dimanjakan. Dia menguasai bahasa Hongaria dengan baik sehingga bisa ikut membantu bisnis ayahnya di sana. Termasuk dalam pengurusan izin dan sebagainya. Namun sayangnya kok aku waktu itu tak pernah kepikiran untuk melihat foto kedua orang tuanya.

Baca juga: Tasmanian Devil, Si Setan Yang Rakus

Fang tak hanya cerdas otaknya, namun seorang gadis yang sangat cekatan, pekerja keras dan punya daya tahan fisik yang kuat. Kalau dibilang pekerja keras, menurutku, dia bahkan terlalu bersemangat. Begini ceritanya, sebagai seorang yang menyandang status international student atau pelajar dari luar Australia, boleh mendapatkan pekerjaan sampingan yang durasi waktunya dibatasi (part time job).

 Namun ada batas maksimal. Kalau aku tak keliru, dibawah 30 jam dalam seminggu. Tak boleh melebihi yang sudah ditentukan. Agar tak mengganggu waktu belajar. Tapi dia sendiri bekerja tiap hari, pernah di pagi hari selama satu jam sebelum waktu kuliah dan malam setelah pulang kuliah. Itu dia lakukan setiap hari. Jadi kemungkinan lebih dari 30 jam per minggu!

Aku sendiri pernah mendapat part time job, namun masih berkisaran wajar jadi tak mengganggu waktu kuliahku. Lalu bagaimana Fang bisa menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang terkadang banyak sekali? Pernah suatu saat kutanyakan padanya. Jawabannya sungguh bikin ku kaget dan tak pernah membayangkannya, apalagi mau melakukannya.

Baca juga: Susahnya Mendapat Pekerjaan di Negeri Orang

Jika tugas sedang menumpuk. Dia tak tidur selama tiga hari, sehingga malam hari sampai pagi dia bisa menyelesaikannya. Selama tiga hari aktifitasnya, bekerja, kuliah dan mengerjakan tugas, dengan mengorbankan waktu tidur. Bisa kalian bayangkan bagaimana rasanya tiga hari tiga malam tidak tidur?

Suatu ketika Fang mendapat berita yang sangat menyedihkan bagi seorang anak, apalagi bagi anak tunggal. Waktu itu pemerintah Tiongkok hanya memperbolehkan satu keluarga dengan satu anak. Tak tahulah aturan sekarang. Ketika kulihat mukanya murung, tak ceria seperti hari-hari biasa. Lalu kudekati dia dan kutanyakan kenapa. Dia menjawab ayahnya kecelakaan di Hongaria. Tertabrak mobil dan masuk rumah sakit.

Berhubung menjelang akhir semester, dia tak bisa langsung pulang, menunggu sekitar dua minggu sampai urusan kuliah selesai. Namun dalam penantian, dia tak terlihat lemah. Masih terlihat cekatan dan  beraktifitas seperti biasa cuma tak banyak bicara, lebih suka diam jika tak kusapa.  Ketika akhirnya dia pulang menengok ayahnya, aku menggantikan pekerjaannya di sebuah restoran Cina di malam hari.

Sekitar sebulan ku tak bertemu dengannya. Ketika akhirnya Fang pulang kembali ke Hobart, kami berdua ngobrol sambil makan siang di KFC. Dia juga memberiku oleh-oleh berupa pernak-pernik khas Hongaria dan Cina. Ini hari kedua ketika dia kembali. Efek jet lag masih mempengaruhi tubuhnya. Bisa dibayangkan perbedaan waktu di Hobart dengan di Budapest yang katanya sekitar 12 jam! Sehingga siang hari dia mengantuk terus dan malam harinya tak bisa tidur.

Selain dia yang terlihat mengantuk berat,  ada satu hal yang berbeda darinya. Yaitu kemampuan berbahasa Inggrisnya yang menurun. Selama satu bulan dia hanya menggunakan bahasa Hongaria dan Mandarin. Sehingga aku terkadang mengingatkannya beberapa kosa kata dalam bahasa Inggris yang dia lupa.

Baca juga: Ini Sebabnya Kenapa Orang Bule Tahan Hawa Dingin - Memori Masa Lalu


Pernah suatu hari aku mendapat undangan makan dim sum darinya. Dim sum atau Chinese dumpling. Ya dia waktu itu sedang belajar memasaknya, lalu meneleponku untuk datang kerumahnya. Dia tinggal di share house dengan beberapa teman-teman perempuan Asianya. Salah satu dari mereka sudah aku kenal baik. Dia mengajakku ke dapur yang juga berfungsi sebagai ruang makan. Tempatnya cukup luas juga. Ada satu panci penuh dim sum. Nampaknya enak pikirku.

Lalu Fang menyuruhku untuk duduk, kemudian dia mengambil sebuah mangkuk kecil dan sepasang sumpit. Kemudian mengisinya dengan dim sum buatannya. Walaupun tanpa tambahan saos, kuakui masakannya cukup enak juga. Akupun makan dengan lahapnya.

Lalu dia menanyakan apakah dim sum buatannya rasanya enak. Aku pun menganggukkan kepala dan berkata Yummy. Raut wajahnya menunjukkan kepuasan karena aku menyukainya. Dan dia mengambil mangkukku yang sudah kosong dan mengisinya lagi dengan dim sum.

Wadoh! Apa aku harus menghabiskan semuanya, padahal aku sudah kenyang. Aku lupa berapa mangkuk dim sum sudah masuk kedalam perutku yang sudah mulai buncit kekenyangan. Kuturuti hanya tuk sekedar menyenangkan dia. Wajah cantiknya yang oval putih akan berubah cemberut jika aku bilang sudah kenyang. Dim sum buatanku pasti tak enak ya Aris? Kalimat itu yang berapa kali dia katakan. Geli juga sih kalau teringat momen itu hehehe. Aku sampai mabok kekenyangan dim sum. Tapi trimakasih ya sudah menjamuku.


Sayangnya waktu itu masih belum era digital, sehingga ketika kukembali ke tanah air, lambat laun kami hilang kontak sampai sekarang. Pernah kucoba mencari dengan mengetikkan namanya di google web search, namun kemudian yang muncul nama Yang Fang banyak sekali, namun tak satupun sosok yang mirip dengannya. Yah aku harus mengakui kenyataan telah kehilangan seorang sahabat cantik bermuka oriental. Entah di belahan bumi mana sekarang. Semoga engkau telah menjadi seorang pengusaha sukses, seperti yang engkau impikan.

Hanya satu hal yang kuingat betul, ketika malam hari kutelepon dia. Itu malam terakhirku di negeri Kangaroo. Sebelum membaringkan tubuh dan memejamkan mata agar kantuk cepat menjemput. Sehingga malam cepat berganti pagi, tuk menuju ke bandara yang akan mengantarku pulang. Pulang ke Indonesia untuk  menyongsong masa depanku.

Dia waktu itu masih bertahan di negeri Kangaroo untuk menjemput mimpinya yang masih banyak. Selain keinginan dia untuk juga menaklukkan negeri Paman Sam. Di malam itu, hanya rangkaian kata yang terputus-putus dan isakan tangis seorang gadis yang kudengar dari gagang telepon. (helloiamaris.blogspot.com)