Air Terjun Kali Pancur Getasan Begini Nasibmu Sekarang

 

Pagi menjelang siang namun udara masih terasa sejuk. Semangat pun masih menggelora tuk menuju ke suatu tempat wisata yang dahulu sempat populer. Namun sekarang telah terlupakan oleh sebagian pecinta suasana alam, bahkan banyak juga anak muda yang belum pernah mendengar namanya.

Kupacu sepeda motor tuaku melalui jalanan yang menanjak. Daerah Salib Putih kulewati dan kemudian memasuki wilayah Kabupaten Semarang.

Di depan ada sebuah pom bensin mini. Kalau jalan naik terus menuju ke arah Kopeng. Kubelokkan  sepeda motor ke kanan menuju ke sebuah jalan kecil yang akan mengantarkan ku ke Kali Pancur, nama air terjun yang kutuju.

Air terjun Kali Pancur terletak di desa Nogosaren, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Tersembunyi di kaki gunung Telomoyo dan dekat dengan gunung Gajah.

Ini berlangsung pada awal bulan November tahun yang lalu ketika air hujan mulai rutin membasahi negeri tercinta ini, terutama di sore hari.

Ketika kusampai di tempat tujuan, suasana tempat parkir terlihat sepi. Tak terlihat ada kendaraan lain yang sedang diparkir.

Pemukiman warga tak jauh dari lokasi parkir. Namun saat ini tak terlihat ada petugas jaga. Loketnya pun terlihat kosong, sepertinya lama tak difungsikan lagi. Walaupun itu hari Sabtu dimana orang biasanya suka berwisata. 

Di area tempat parkir ada sebuah warung. Seorang lelaki tua yang terlihat berusia lebih dari 60an tahun, menghampiriku dan berkata biaya masuk termasuk ongkos parkir Rp.5K, dibayar saja ketika mau pulang katanya.

Ini sudah yang ke empat kalinya aku kesini. Dengan rentang waktu yang sangat lama dari yang pertama dan yang kedua. Sedangkan yang ketiga kalinya sekitar dua setengah tahun yang lalu.

Berjalan ke lokasi air terjunnya cukup jauh melalui jalan kecil yang semakin lama menurun agak curam. Dibutuhkan nafas dan otot kaki yang kuat saat naik pulangnya.

Dua saung kayu yang dahulu untuk tempat penjual makanan dan minuman, sekarang kondisinya rusak berat. Menandakan tempat ini sudah jarang didatangi wisatawan.


Padahal panorama disini sebenarnya cukup mempesona dengan banyak pepohonan, bunyi air yang mengalir dari mata air menuruni lereng. Airnya terasa dingin dan segar. Sayangnya tempat ini sudah tak terawat lagi. Mungkin kerasnya persaingan dengan munculnya banyak obyek wisata baru yang lebih mudah diakses. Waktu ternyata telah merubah segalanya.


Ketika menuruni jalanan setapak yang dicor semen, sebagian masih terlihat cukup bagus, sebagian lagi sudah rusak jadi harus ekstra hati-hati melangkahnya. Ada yang tinggal tersisa batu-batuan kecil dan ada yang  hanya tanah basah tergenang air.

Satu-satunya orang yang kutemui di perjalanan turun hanyalah seorang lelaki. Warga setempat yang berjalan naik sambil menyunggi rumput gajah diatas kepalanya. Kebiasaan yang membuat fisiknya sangat kuat, dan tak terlihat capai.

Sesampainya di lokasi air terjun, di dekatnya ada bangunan semi permanen yang rusak. Memoriku pun membawa kemasa lalu. Entah beberapa tahun yang lalu. Aku lupa. Yang kuingat hanya duduk di bangku kayu menikmati kelezatan mie kuah instan yang dimasak dengan kayu bakar, diiringi suara air terjun.

Sayangnya, perjalananku berakhir dengan antiklimaks. Ternyata Air Terjun Kali Pancur kali ini sedang tak cukup mendapatkan aliran air dari gunung Telomoyo. Musim hujan belum mencapai puncaknya, mata airpun belum banyak. Sehingga yang kujumpai hanyalah cipratan air kecil.