Memori kegagalan di masa lalu bisa menjadi suatu pembelajaran yang berharga agar di masa depan tidak mengalami hal yang sama. Termasuk pengalaman gagal menaklukkan puncak gunung slamet.
Gunung Slamet merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah dan yang kedua di pulau Jawa. Gunung ini menjulang setinggi 3.428 meter dpl. Cukup populer di kalangan pecinta alam sebagai sasaran pendakian. Selain menantang, para pendaki akan disuguhi pemandangan alam yang indah dan sunrise yang memukau.
Cerita dari beberapa orang yang telah berhasil mendaki ke puncak gunung Slamet semakin menguatkan keinginanku untuk bisa menaklukkannya. Apalagi puncak gunung itu yang senantiasa menghiasi langit yang terlihat jelas dari kota ku tinggal.
Di artikel kali ini aku ingin sedikit berbagi kisah tentang kegagalan mendaki puncak gunung. Ternyata mendaki gunung tidak hanya sekedar berani dan suka dengan keindahan alam, namun punya makna yang lebih mendalam. Yaitu arti sebuah kebersamaan dan kekompakan tim.
Walaupun peristiwanya sudah berlangsung lama sekali, namun aku ingin merekamnya dalam postingan kali ini. Walau hanya sebatas yang aku ingat. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Ini berlangsung pada masa menjelang kelulusan SMA di Purwokerto. Tinggal menunggu hitungan hari saja.
Kami 4 orang bertetangga berniat untuk mendaki gunung Slamet. Dua orang dari kami sudah pernah sampai puncaknya sebelumnya. Aku termasuk yang belum pernah. Jadi ajakan tersebut sangat menyenangkan hati, jadi sayang kan kalau di tolak.
Baca juga: Madu, Bahan Makanan Yang Sehat Dan Alami
Kami memilih mendaki melalui jalur Bambangan, Kabupaten Purbalingga. Ini merupakan jalur pendakian yang paling populer waktu itu. Perbekalan sudah kami siapkan. Dari Purwokerto kami naik angkotan umum. Akhirnya kami turun di sebuah tempat khusus pemberhentian angkutan umum. Entah apa nama tempatnya aku sudah lupa.
Berhubung tidak ada kendaraan yang bisa membawa kami sampai ke dukuh Bambangan. Waktu itu medannya atau kondisi jalannya pun tak memungkinkan. Jalanan masih berbatu dan belum rata, terlihat hanya asal ditaruh.
Dengan beban rangsel dipunggung, cukup berat juga sih. Kami menapaki jalanan naik berbatu ke desa terakhir di kaki gunung Slamet. Perlu waktu sekitar dua jam sampai akhirnya kami tiba di rumah juru kunci gunung itu. Saat itu hari sudah sore. Untuk melepaskan penat, kami tiduran di amben yang ada di ruang tamu si juru kunci. Amben adalah tempat tidur yang tak ada kasurnya, hanya beralaskan tikar. Itu sebutan yang umum di Purwokerto. Kami disuguhi teh panas khas dusun tersebut, hasil petik sendiri
Tepat jam 7 malam kami berempat mulai mendaki. Dipilih malam hari agar bisa menjemput matahari terbit atau sunrise di puncak gunung. Inilah yang dibilang sebagai puncak kenikmatan para pendaki gunung.
Manusia boleh berencana namun pada akhirnya Tuhan lah yang berhak menentukan. Keinginanku untuk bisa menginjakkan kaki ke puncak gunung Slamet pun ternyata gagal. Setelah kami selama beberapa jam tersesat. Dua orang yang paling senior dalam usia dan yang sudah pernah mendaki sebelumnya lupa jalan. Mereka berdua benar-benar tidak ingat arahnya.
Dalam keadaan tersesat, kami berjalan tak tentu arah selama beberapa jam. Dan hampir mau menuruni jurang menuju kawasan hutan 'larangan' yang kata orang tempatnya angker. Katanya sih kalau pendaki sampai masuk ke dalam area itu akan hilang selamanya. Betul atau nggak aku tak tahu, tapi waktu itu tempatnya terlihat serem dan rimbun sekali pepohonannya.
Kami berempat akhirnya berhenti dan duduk. Dalam keadaan ini setiap orang akan teringat dengan Tuhannya yang mungkin terkadang dilupakan. Suara gerombolan babi hutan terdengar jelas melintas tak jauh dari posisi kami. Teman yang terkuat fisiknya pun kulihat meneteskan air mata. Entah itu ekspresi berlebihan atau nggak aku pun tak tahu. Aku hanya bisa pasrah pada Sang Pencipta.
Dengan bantuan sorot lampu senter kami mencari bantuan. Bersyukur sampai akhirnya terlihat oleh dua orang penduduk desa. Mereka datang menghampiri kami. Tuhan telah mendengar doa kami. Mereka berdua memberi petunjuk arah yang semestinya. Lalu kami melanjutkan pendakian, namun kali ini dengan trek yang benar.
Namun apa daya tenaga sudah banyak terkuras. Salah satu dari kami tidak kuat dan muntah-muntah. Tak mungkin lah kami tinggal dia sendirian di hutan. Akhirnya kami putuskan untuk tidak meneruskan pendakian.
Akhirnya kami memutuskan kemping di kebun jagung milik seseorang penduduk setempat. Dia sedang menyalakan api unggun sambil menunggu kebun jagungnya dari ancaman babi-babi hutan. Udara dingin hilang ketika kami mendekat ke api unggun dan duduk di gubug sederhana. Trimakasih pak kami boleh menumpang. Juga kami dipersilahkan makan jagung bakar gratis sepuasnya.
Baca juga: Jagung Bakar, Nikmatnya Wisata Pegunungan
Kami bermalam di kebun jagung sambil menunggu pagi. Cukup memberi hiburan bagi kami yang lebih banyak terjaga dibandingkan terlelap. Paginya kami turun dan mandi di sebuah aliran air yang dingin segar. Terasa lebih dingin ketika air gunung menguyur punggung kami.
Kegagalan pendakian waktu itu memberi pengalaman yang berharga. Aku jadi semakin menyadari arti pentingnya kerjasama tim. Karena ada salah satu teman kami yang sangat egois. Aku bilang begitu karena dia mempunyai fisik yang paling kuat diantara kami. Namun dia inginnya jalan cepat-cepat tak mau menghiraukan yang lain. Tak suka melihat teman-temannya berhenti istirahat terlalu lama. Mungkin kalau dia bisa memahami orang lain, ceritanya akan lain. (helloiamaris.blogspot.com)