Image via Pixabay.com |
Jika anda sependapat bahwa salah satu makanan cepat saji yang cukup digemari adalah mie instan, tentunya ada pengalaman pribadi yang menguatkannya. Itulah yang pernah kurasakan dulu.
Ya aku mengatakan sebelumnya. Ini mengembalikanku ke memori masa lalu. Yang samar-samar kucoba kuingat lagi. Periode waktu tersebut mie instan, baik itu yang goreng maupun yang berkuah tetap sama nikmatnya. Terlebih jika disajikan dengan sebutih telur ayam. Digoreng mata sapi untuk pelengakap mie gorengnya. Sedangkan yang berkuah telurnya dicampur langsung kedalamnya.
Namun sekarang rasa mie instan terasa lain, tidak seenak dulu. Itu sensasi yang terasa di lidah ini, lidah pemilik blog ini. Tentunya cara mengecap dan menilai suatu makanan akan berbeda dengan orang lain. Jadi wajarlah jika ada yang tak sependapat.
Warung tempat nongkrong anak-anak muda atau warung burjo yang jual bubur kacang hijau, biasanya juga menjual aneka hidangan mie instan. Tinggal di pilih sesuka selera. Mau pakai telor bisa, tidak pun masih dilayani. Kenyataan ini membuktikan bahwa mie instan memenuhi selera banyak orang.
Semasa kuliah di Semarang dan mendapatkan tempat kos pertama. Hari itupun aku langsung berkenalan dengan mie kuah instan bikinan warung didepan tempat kos. Warung kecil yang menempati sebuah lahan kosong. Didalam ada sebuah meja panjang dengan dua bangku yang juga terbuat dari kayu.
Pembeli makan sambil berhadapan. Tapi tak pernah penuh kok karena ada yang suka pesan dan minta diantar ke tempat kos. Ya lokasinya sangat strategis. Dikerumuni rumah-rumah kos. Warung mungil itu pun merangkap sebagai rumah tempat tingal yang ada satu ruangan kecil dibelakangnya. Digelar kasur tipis, bisa untuk rebahan si pemilik warung dan sepasang anak kecilnya.
Walaupun menu makannya hanya ada mie instan, namun tidaklah demikian dengan minumannya. Ada beberapa pilihan, seperti es teh, es sirup, dan minuman botol temulawak. Semua minuman dingin lebih menyegarkan. Siapa sih yang tahan minum teh hangat di Semarang. Di malam hari es tehpun menjadi suatu kebutuhan.
Sama ceriteranya ketiga dulu sebulan di Jakarta. Ketika on the job training di sebuah hotel. Pernah dua atau tiga kali makan di warung yang sedia mie instan. Sedap sekali makan mie kuah dengan tambahan telur dan potongan sawi hijau segar. Dikasih saos tomat, kecap dan sambal. Uwaahh mantap sekali rasanya. Kalau nggak enak tak mungkin ku teringat sampai sekarang, kan?
Ada lagi satu cerita tentang mie goreng instan. Ini cerita semasa remaja di Purwokerto. Waktu sedang dalam agenda penggemukan badan. Sebenarnya sih bukan penggemukan karena masih terlalu kurus. Jadi yang betul agar kalau tertiup angin, badan yang kurus tinggi itu tak sampai ikut terbang lah hehehe.
Dalam satu bulan atau lebih, aku tak terlalu ingat. Yang kuingat setiap malam sebelum tidur makan dua porsi mie goreng instan. Itu jadi jadwal makan yang ke empat perharinya loh. Dalam sebulan berat badan bisa naik 2kg. Senang sekali dong tentunya. Dan kalau ditanya sehat atau nggak, ya tak usah ditanya karena aku nggak bakalan peduli hehehe.
Waktu di Hobart pun aku masih bisa menikmati mie instan. Termasuk sering, jika lagi suka. Kadang beberapa kali dalam seminggu. Sampai suatu ketika seorang kawan dari Malaysia bilang aku terlalu banyak mengkonsumsi MSG yang ada di dalam bumbu mie instannya. Peringatan itupun hanya sebentar masuk ketelinga, lalu keluar dengan sendirinya lewat lobang telinga yang lain.
Namun sekarang, entah kenapa aku tak pernah bisa benar-benar menikmati kelezatan mie instan. Kalau mau berkata jujur, habis makan malah bikin perut enek. Pernah suatu ketika kepengin, lalu buat. Namun tak ada kepuasan di lidah ini. Apakah waktu telah mencabik rasa sedap di lidah ini, ataukah mie instan memang sudah tak selezat yang dulu. Entahlah, tak bisa ku menyimpulkan.