Apa Respons Kamu Jika Teman Satu Kos Membawa Pulang Tengkorak Manusia Asli?


Image source: Pixabay.com

Helloiamaris -  Bagi yang pernah merasakan hidup sebagai anak kos pasti telah merasakan bermacam suka dan duka tinggal jauh dari orang tua. Tak lagi bergantung kepada mereka sepenuhnya, mulai belajar mengatur kehidupanya sendiri, termasuk mengelola waktu, mengatur keuangan dan berinteraksi dengan orang yang baru kita kenal serta mendapatkan teman-teman baru dengan karakternya masing-masing. Tentunya suatu pengalaman yang berharga yang bermanfaat dan tak terlupakan.



Pada artikel kali ini yang berlabel Tasmania, khusus aku tulis untuk mengenang pengalaman yang pernah aku alami selama dua tahun tinggal di negara bagian yang berbentuk pulau kecil yang terletak di bagian selatan negeri kangaroo itu. Kejadiannya sudah berlangsung lama. Namun beruntung tiba-tiba teringat sepenggal kisahnya sehingga bisa untuk postingan artikel hari selasa ini. Dan seperti yang sudah pernah aku katakan di artikel sebelumnya, aku tak akan pilih-pilih topik untuk blog ini yang masuk kategori multi topik, sehingga tema apapun bisa aku tuliskan di blog ini dan yang lebih penting bisa tetap konsisten update artikel, ini tentunya berbeda dengan di blog satunya, Local Food and Tourism Arisarmu, dengan niche blog yang spesifik.

Setelah tidak tinggal satu flat dengan kakak beserta istri dan anak bayinya, yang saat itu dia sedang menempuh pendidikan pasca-sarjana di sebuah universitas di Hobart. Aku memutuskan untuk kos. Betapa senangnya hatiku bisa terbebas dari kakak yang suka banyak aturan hahaha.

Di Australia kami menyebutnya dengan istilah share house, yaitu tinggal dalam satu rumah yang sama dengan orang lain namun berbagi fasilitas, seperti living room, dapur dan kamar mandi. Sehingga harus bisa mengatur waktu saja agar tak sampai berbenturan sehingga hubungan baik bisa tetap terjalin. Ini merupakan opsi yang lebih murah dibandingkan jika tinggal di flat, kata yang umum dipakai di sana untuk menyebut apartment, yang biasanya kosong tanpa ada fasilitas, kecuali mesin cuci yang biasanya sudah disediakan sedangkan perlengkapan yang lainnya harus mengisi sendiri. Lalu kenapa tidak tinggal saja dengan orang Australia, jadi khan bisa sekalian berlatih speaking dengan native speakers. Iya memang benar kalau tinggal satu rumah dengan mereka, kelebihan yang akan didapat tentu saja kemampuan berbahasa Inggrisnya akan cepat meningkat dan bisa lebih mengenal budaya mereka. Namun keinginan itu aku kubur dalam-dalam ketika seorang teman perempuan dari Hong Kong tinggal di homestay dengan orang Australia dan ketika waktu sarapan ngambilnya kebanyakan si empunya rumah memperlihatkan muka kurang suka hahaha... mungkin dia makannya terlalu rakus ya.

Share house yang aku tempati dimiliki pasangan muda yang belum mempunyai anak, suaminya orang Taiwan yang sedang menempuh pendidikan S3 dan istrinya berasal dari Canton, sebuah kota di daratan Tiongkok yang membuka praktek pengobatan tradisional China tusuk jarum di Hobart sedangkan dua orang wahasiswa yang juga ngekos disana, seorang perempuan dari Taiwan yang kamarnya bersebelahan dengan kamarku dan satunya yang menempati kamar paling belakang melewati dapur dan bersebelahan dengan toilet, dia seorang laki-laki warganegara Malaysia yang berkulit kuning, mata sipit dengan gaya bicaranya yang serius menandakan dia terlalu banyak belajar.

Sama sekali tak ada kendala hidup berdampingan dengan orang yang berlainan budaya dan bahasa maupun dalam berbagi fasilitas di dalam rumah. Siapa yang bangun duluan yang pertama mandi, dan kalau dapur sedang dipakai untuk memasak, aku memasak nantian atau besok toh tidak setiap hari masak karena masak sekalian banyak dan sisanya di taruh di dalam lemari es untuk beberapa hari tinggal dipanaskan di dalam microwave oven , itu pun biasanya hanya untuk makan malam, sarapan pagi cukup cereal dengan susu segar dingin, kalau punya pisang, buah kiwi atau strawberry tinggal dipotong-potong dan ditambahkan. Sedangkan untuk makan siang kalau tak bawa bekal bisa makan di kantin kampus. Mencuci pakaianpun bukan kendala walaupun harus bergantian. Satu hal yang menarik tinggal dengan mereka yaitu aku seperti berada di negeri Tiongkok. Bahasa Mandarin yang kerap aku dengar dalam keseharianku jika berada di rumah itu, terlebih lagi di akhir pekan ketika kami bisa berkumpul bersama.

Pada suatu hari, ada satu hal yang membikin bulu kudukku sedikit berdiri atau mungkin berdirinya banyak ya aku lupa hehehe. Kalau tak keliru pada malam hari, Dirumah lagi sepi hanya ada aku dan Hong Wei, ini panggilanku pada teman Malaysiaku yang seorang mahasiswa kedokteran. Waktu itu dia kelihatan asyik dikamarnya dan kulihat dia dari pintu dapur sedang duduk mengamati sesuatu dengan serius. Karena kesibukan masing-masing sangat jarang kami terlibat percakapan yang lama. Namun malam itu ingin rasanya mengobrol dengannya dan bahasa internasional yang selalu jadi pemersatu kami karena dia nampaknya tak terbiasa berbicara dengan bahasa Melayu. Jadi kalau dipaksakan, komunikasi tak bakalan berjalan mulus bisa terjadi miskomunikasi. Harap maklum selama di Malaysia, dari Sekolah Dasar sampai lulus SMA dia bersekolah di sekolah China yang memakai bahasa Mandarin.


Jantungku berdetak kencang ketika kutahu apa yang sedang dipegangnya. Tengkorak manusia asli yang tadinya sempat kupikir itu tiruan. Dia bilang itu orang India yang mati ketika berusia 18 tahun. Hong Wei pinjam tengkorak kepala yang disimpan didalam sebuah kotak kecil dari perpustakan fakultas kedokteran, katanya sih. Dan setelah aku bisa menenangkan diri, kuamati tengkorak itu dengan deretan giginya yang bagus rapi, namun tengkorak kepalanya tak terlalu besar. Aku hanya memperkirakan dari bentuknya dia semasa hidupnya pastilah seorang pemuda yang tampan tapi entah kenapa dia sampai meninggal dunia yang aku tak tahu dan Hong Wei pun tak bilang padaku penyebabnya.

Tak lama Hong Wei tinggal bersama kami, hanya beberapa bulan, dia memutuskan untuk membeli rumah sendiri di pinggiran kota Hobart. Setelah dia pindah aku tak pernah bertemu lagi dengannya sampai sekarang. Namun satu hal yang bikin aku menyesal kenapa dulu sempat menolak beberapa kali ajakannya di malam hari untuk ikut dengannya ke kampus melihat dia praktek autopsi mayat dengan alasan nanti selera makanku bisa hilang. Ah sayang, pengalaman berharga terlewatkan begitu saja padahal dia menjamin aku boleh melihatnya namun hanya tak boleh ikut membedah mayatnya hahaha.