Pagelaran Reog Krido Utomo Tengaran di Lapangan Bulu Salatiga - Dibuka Dengan Tarian Gedruk


Merti Dusun atau Merti Desa adalah tradisi budaya tahunan yang digelar setiap bulan Sapar di beberapa tempat di Salatiga.

Pada hari sabtu kemarin tanggal 5 Oktober, sebagian warga Salatiga memadati lapangan Bulu. Mereka sangat antusias menyaksikan hiburan rakyat yang berupa pagelaran Reog. Kali ini Paguyuban Reog Krido Utomo yang mempertunjukkan kebolehannya dalam acara Merti Dusun Dukuh Bulu RW VI Tegalrejo, Kota Salatiga.

Lapangan ini biasa digunakan untuk bermain sepakbola bagi warga sekitar walaupun kondisi tanahnya tidak memadai. Terlalu keras dan rumputnya sudah banyak yang gundul. Letaknya lebih rendah beberapa meter dari permukaan jalan. Malahan cocok sebagai tempat berlangsungnya acara Merti Dusun ini.


Baca juga: Pertunjukkan Rakyat, Sarana Efektif Penangkal Hoax

Banner atau spanduk bertuliskan informasi tentang pagelaran Reog terpasang di depan sebuah warung di dekat lapangan, sedangkan satunya lagi di pinggir jalan menuju ke arah lapangan Bulu. Walaupun tak tertulis waktu dimulainya, namun warga tampaknya sudah mengetahuinya bahwa acaranya berlangsung setelah jam tiga sore sampai menjelang maghrib dan dilanjutkan lagi pada malam harinya.



Gebyar Saparan adalah suatu cara untuk melestarikan budaya Jawa Merti Desa. Merupakan tradisi turun temurun yang telah dijalankan di kota mungil Salatiga. Ini merupakan bentuk ucapan syukur kepada Sang pencipta atas berkat dan karunia yang telah diterima oleh warga kota selama ini.

Secara tidak langsung, budaya tradisional ini juga menghidupkan paguyuban-paguyuban Reog yang ada di Salatiga. Mereka bisa tetap eksis menampilkan trarian khasnya dengan kostum yang unik, sehingga menjadi hiburan yang menarik bagi sebagian warga.



Kebetulan lokasi lapangan Bulu hanya berjarak sekitar 800 m dari tempat saya tinggal. Setelah memarkir sepeda motor di tempat yang dikelola oleh warga sekitar dan membayar Rp. 3000, saya pun mendekati panggung hiburannya.

Sekitar pangung di pagar untuk membatasi penonton agar tidak mengganggu jalannya acara tersebut.
Di bagian depan dipagar bambu, sedangkan di bagian belakang panggung tempat para pemain Reog Krido Utomo mempersiapkan diri di pagar seng. 

Saya pun berusaha masuk ke dalam area panggung untuk bisa mendapatkan foto yang menarik, termasuk melihat persiapan para penarinya. Mereka memakai kostum yang mencolok dengan hiasan dikepala berupa bulu ayam. Sedangkan kakinya ada yang memakai klenengan-klenengan kecil yang menimbulkan suara gemerincing jika bergerak.

Berfoto bersama sebelum mulai

Reog Salatiga sebenarnya lebih mirip dengan kesenian tradisional Kuda Lumping atau Jaran Kepang. Namun di daerah ini orang biasa menyebutnya dengan nama Reog. Sedangkan di Yogyakarta dinamakan Jathilan. Salah satu babak dari pertunjukkan ini menampilkan tarian Gedruk.

Baca juga: Apakah Anda Pernah Nonton Reog ala Salatiga?

Agar lebih meriah, musik pengiringnya pun sudah dimodifikasi. Yaitu perpaduan alat musik tradisional dengan modern. Diatas panggung terlihat beberapa orang memainkan alat-alat musik seperti peking, kenong, kendang, yang dikolaborasikan dengan drum, bas gitar dan keyboard.



Terlihat seorang laki-laki sambil duduk melantunkan tembang Jawa, sedangkan lelaki satunya menimpalinya. Jadinya semakin meriah mengikuti dentangan bas drum dan gitar yang mantap, namun tetap ada nuansa musik tradisionalnya.


Sekitar jam 15.45, tiga orang lelaki berbaju dan bercelana serba hitam memasuki area lapang didepan panggung. Dua orang yang didepan membawa boneka kuda hitam yang terbuat dari anyaman bambu. Entah kenapa warna hitam yang dipilih, saya pun tak tahu sebabnya. Sedangkan lelaki yang ketiga, ditangan kanannya memegang sebuah pecutan dan tangan kirinya memegang janur kuning yang dibentuk sesuatu. Mereka beberapa kali berjalan mengelilingi area pertunjukkan.


Kemudian satu persatu para penari memasuki area pertunjukkan. Inilah saat yang dinantikan oleh para penonton termasuk saya. Ini sudah yang kesekian kalinya saya melihat pagelaran Reog selama saya dan keluarga menetap di kota mungil ini. Dulunya di zaman kolonial sebagai tempat peristirahatan para menir.

Baca juga: Ada Apa Dibelakang Panggung Pertunjukkan Reog ala Salatiga?

Ada beberapa penari wanitanya walaupun masih didominasi oleh lawan jenisnya. Mereka terlihat cukup kompak dan bergoyang mengikuti irama musik. Suara gemerincing klenengan yang dikenakan dikaki semakin menambah meriah.




Pertunjukkan kedua yaitu tarian dari beberapa lelaki yang mengenakan topeng yang terlihat serem namun jadi menarik untuk ditonton. Ini dinamakan Tari Rampak Gedruk Buto. Ada nuansa yang berbeda dari tarian yang sebelumnya. Walaupun irama musiknya tetap mirip, yaitu cenderung monoton. 

Tari Rampak Gedrug Buto

Sebagai selingan, diatas panggung juga ada dua orang penyanyi wanita. Diawali dengan duet, lalu selanjutnya menyanyi solo secara bergantian.



Inilah sebagian keseruan perayaan Merti Dusun di lapangan Bulu. Sebenarnya masih dilanjutkan pada malam harinya, namun saya tidak menontonnya. Bagi saya, bisa menonton di sore harinya sudah cukup memberi kepuasan. Semoga warisan leluhur budaya Jawa bisa tetap eksis dan masih diminati sebagai hiburan yang menarik.

Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. (helloiamaris.blogspot.com)